Radio Elfara - Rabu (14/6) kemarin, para anggota Parlemen Belanda berkumpul untuk membahas mengenai hasil penelitian dekolonisasi. Penelitian yang berjudul ‘Onafhankelijkheid Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950’ (dalam bahasa Indonesia Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang Indonesia, 1945-1950).
15 anggota parlemen yang hadir mewakili partai mereka masing-masing dan mempersoalkan tiga hal dari penelitian tersebut. Tigal hal yang dipermasalahkan dari penelitian ini yang pertama adalah, penggunaan ‘kekerasan ekstrem’ daripada ‘kejahatan perang’. Kedua mengenai tanggung jawab dan perminta maaf pemerintah kepada para korban dan veteran perang Belanda. Yang terakhir mengenai kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang yang dianggap sebagai penjahat perang.
Perdana Menteri Rutte yang hadir dalam perdebatan itu akhirnya mengakui Proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu, setelah 78 tahun berlalu. Sebelumnya di tahun 2005 lalu, Menlu Belanda Ben Bott udah mengakui kemerdekaan Indonesia walau secara de facto saja. Karena saat itu pemerintah Belanda masih menganggap Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949.
“Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa ragu / keberatan. Saya masih akan cari jalan keluar bersama presiden (RI) untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak,” ungkap PM Rutte.
Tapi dengan pengakuan ini, bukan berarti PM Rutte mengakui mengenai kejahatan perang Belanda pada 1945-1949. “Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis,” ujarnya lagi. [JY]